Ada sebuah tempat di Kelurahan Roa Malaka, kecamatan Tambora Jakarta Barat nih, dulunya pada periode penjajahan Belanda,tempat ini dikenali panggilan Ji-Lak-Keng ( 2-6-deretan rumah)
Namanya saat ini Jalan Perniagaan Barat.
Tetapi dahulu beberapa orang Batavia lebih mengenalinya dengan Jilakeng.
Panjang jalannya kurang dari 1 km. Di satu segi, sungai sekalian aliran pembuangan air memanjang dan di lain sisi beberapa toko berdiri manfaatkan bangunan tua beberapa sisa warisan masa lalu.
Beberapa bangunan saat ini masih memertahankan style arsitektur Tionghoa. Tetapi semakin banyak yang memugar yang menukarnya dengan style arsiktur saat ini.
Salah satunya bangunan yang menjaga style kuno berada di ujung jalan itu. Pas ada di pojok di antara Jalan Perniagaan Barat dan Jalan Perniagaan Raya.
Bangunan ini beberapa tahun kemarin digunakan untuk jual beberapa obat tradisionil China. Nama toko obat tersebut kelihatan terang walau telah diterpa oleh cat. Saat ini bangunan itu digunakan untuk jualan peralatan menjahit dan mesin jahit listrik. Walau sebenarnya di bangunan ini, pada tengah tahun 1800-an, cikal akan praktek dan usaha prostitusi di ibukota ada, dari teritori Jilakeng tidak jauh dari Pasar Pagi Asemka, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Menurut sejarawan Asep Kambali, di gedung sudut tersebut dahulu beberapa petinggi Belanda dan Tionghoa bergembira habiskan malam. "Mereka berdansa dan ada wanita yang dapat layani mereka," kata Asep ke CNN Indonesia. Beberapa wanita penghibur yang dihadirkan datang dari Tionghoa.
Jilakeng menurut Asep sebagai teritori selingan paling besar waktu itu. "Demikian besarnya hingga benar-benar populer," tutur Asep.
Menurut dia teritori Jilakeng dapat dikatakan sebagai teritori pelacuran pertama di ibukota. Pasalnya di teritori ini usaha lendir mulai diatur. "Ada susunan perlindungannya dan penyelenggaranya ialah swasta," kata Asep. Pengurus teritori itu ialah masyarakat Tionghoa yang sekarang ini manjadi masyarakat kelas dua sesudah bangsa Eropa.
Berdansa, bercinta sampai konsumsi opium ialah aktivitas di Ji Lak Keng. Mahfum waktu itu opium menurut Asep tetap menjadi barang legal saat itu. Pemakaian opium ini saat ini masih ramai sampai tahun akhir 1900-an.
Teritori selingan dengan beberapa pelacur didalamnya memang dirasakan perlu waktu itu. Pasalnya pada tengah era 19 praktek perbudakan mulai dilawan. Beberapa petinggi berduit mulai malas memakai gundik atau budak untuk rekan tidur mereka. Ditambah dengan memiara gundik atau budak, ada permasalahan yang lain akan muncul yaitu lahirnya anak-anak mereka dari budak atau gundik mereka.
Jika awalnya beberapa petinggi Belanda dan Tionghoa bebas salurkan keinginan seksualnya pada beberapa gundiknya, sesudah perbudakan dihapus istri cuma salah satu pemuasan.
Jilakeng jadi seperti oase untuk mereka yang awalnya terlatih bercinta dengan wanita-wanita lain, selainnya dengan istrinya sendiri.
Bila Jilakeng selanjutnya tidak dikenali, Asep menyangka pemicunya karena menyengaja ditiadakan dari riwayat Jakarta. Apa lagi terakhir di pemerintahan yang berkuasa hapus segala hal yang bau dengan Tionghoa.
sumber liputan enam, wikipedia
Comments
Post a Comment